Meneruskan bisnis keluarga bukanlah perjalanan yang selalu mulus. Begitu pula dengan pengalaman David Gani, sosok yang awalnya bekerja di bidang IT sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali dan membangun bisnis keluarganya.
Tahun 2008 menjadi titik balik ketika ayahnya yang sudah mendekati usia 60 tahun membutuhkan seseorang untuk melanjutkan usaha. Sejak saat itu, David memilih meninggalkan kenyamanan rutinitasnya dan mengambil peran besar di perusahaan.
Awalnya, bisnis yang ia jalankan masih berada di skala kecil, hanya mendatangkan satu hingga dua kontainer produk per tahun. Namun berkat komitmen dan konsistensi, usaha tersebut tumbuh hingga mampu mengimpor belasan kontainer setiap bulannya.
Meski begitu, perjalanan itu tidak lepas dari tantangan. David menegaskan, “Kadang kita puas dengan rutinitas. Sudah bisa makan, bisa liburan, merasa cukup. Tapi ternyata itu berbahaya. Bisnis bisa stagnan dan akhirnya tergilas.”
Dari Rutinitas ke Perubahan Mindset
David menyadari betul posisi bisnis menengah yang kerap terjepit. Tidak lagi dianggap UMKM, tapi juga belum sebesar perusahaan besar yang mendapat perhatian penuh. Kondisi ini membuat banyak pengusaha menengah kesulitan naik kelas.
Untuk menjawab tantangan itu, ia merumuskan tiga hal penting yang menurutnya menjadi fondasi bisnis menengah agar bisa bertahan dan bertumbuh, yang ia sebut dengan kerangka ABC:
- A (Akses): setiap pengusaha membutuhkan akses, baik ke klien, vendor yang andal, hingga pembiayaan yang fleksibel.
- B (Ber-networking): jaringan luas menjadi kekuatan utama untuk berkolaborasi dan membuka peluang baru.
- C (Community Positif): lingkungan yang sehat akan membentuk mindset yang mendukung pertumbuhan bisnis.
“Kalau kita duduk di lingkungan yang isinya pesimis semua, kita juga akan ikut pesimis. Tapi kalau kita ada di komunitas yang berpikir positif, kita akan ikut berkembang,” ujarnya.
Kesadaran inilah yang akhirnya membawa ke Business Network International (BNI) Indonesia pada tahun 2021. Awalnya, David sempat ragu bahkan hampir mundur setelah dua kali ikut pertemuan mingguan. Namun sebuah refleksi pribadi mengubah pandangannya: kalau ingin berkembang, dirinya yang harus berubah lebih dulu.
Sejak saat itu, ia mulai serius menjalani networking, melakukan one-to-one meeting, hingga menemukan partner bisnis baru. Perubahan ini terasa bukan hanya di usaha, tetapi juga dalam kehidupan pribadinya. Ia mencontohkan bagaimana nilai “How can I help you?” yang dipegang BNI ikut terbawa saat menghadapi keluarganya.
“Waktu anak saya nilainya jelek, biasanya saya marah. Tapi yang keluar justru kalimat ‘Apa yang bisa Papa bantu?’ Itu mengubah cara saya melihat masalah,” ungkapnya.
Kolaborasi yang Membawa Pertumbuhan
Bagi David, networking bukan sekadar menambah kenalan, melainkan memperkuat bisnis secara nyata. Ia menemukan vendor baru lewat BNI yang membuat biaya impor turun hingga 20 persen. Bahkan, ide-ide segar dari sesama member ikut mengasah produknya agar lebih baik.
“Kalau di luar, kita cuma merasa produk kita paling bagus. Tapi di BNI, teman-teman berani kasih masukan. Itu membuat kita berkembang,” jelasnya.
Perannya pun berkembang dari anggota menjadi penggerak chapter. Ia meluncurkan chapter di Surabaya sebagai pusat distribusi Indonesia Timur, dan di Bali yang dianggap pintu masuk ke pasar internasional. Baginya, membangun jaringan lintas kota lebih kuat daripada hanya menambah cabang di satu daerah.
Dari perjalanan ini, David belajar bahwa kepemimpinan bukan soal jabatan, melainkan soal hubungan. Pemimpin, katanya, harus hadir sebagai teman, bukan sekadar bos. “Saya percaya setiap kontribusi yang kita tabur akan kembali dalam bentuk value. Bukan hanya uang, tapi juga ilmu, jaringan, dan kesempatan,” ucapnya.
Kisah David Gani mengingatkan bahwa bisnis tidak bisa berkembang sendirian. Akses, jaringan, dan komunitas organisasi yang positif adalah bahan bakar pertumbuhan. Mari jadikan ini inspirasi untuk membuka pintu kolaborasi yang lebih luas bagi usaha Anda.